Gemuruh
petir yang menyambar sore itu disertai angin kencang. Rintik hujan pun
berjatuhan. Kini cuaca gelap dan menakutkan. Namun suara petir dan hujan tak
mampu menutupi huru hara kala itu. Suaranya terdengar dari kejauhan seolah mengadu
pada sang alam.
“ Sudah Bapak bilang, jangan
keluyuran hingga malam hari ! ini sudah
kesekian kalinya kamu tak menggubris kata-kata Bapak !” Mata merah saga
tersebut masih memandang tajam sesuatu di hadapannya.
“ Apaan sih Pak ! kan cuma pulang malam saja kenapa dijadikan masalah”. Suara wanita tersebut tidak kalah tanding, lebih runcing dan lembut.
“Beraninya kamu membantah !” Raut
wajah lelaki tua itu berubah geram. Telapak tangannya kini telah siap mendarat
di pipinya, hampir saja. Entah malaikat apa yang menyelusup membuat
tangannya tak tega menampar paras sang putri.
Ibu
yang semula tertidur lelap sontak terbangun karena mendengar suara bising yang ditimbulkan
dari ruang tamu. Seakan sudah tau apa yang terjadi dan tanpa berucap sepatah
katapun Ibu menepuk pundak lelaki tua itu yang tak lain adalah suaminya, lalu
menenangkan seraya membawanya pergi dari ruang tamu.
Namun
kondisi suaminya berubah, wajahnya mendadak pucat dan tangannya masih
mengusap-usap dadanya yang nampak sakit. Ibu bergegas mengambilkan segelas air
hangat untuk Bapak yang keadaannya sedang memburuk. Ibu khawatir penyakit asma Bapak
kembali kambuh.
“Sing sabar Pak’e . . .
. pasrahne sedoyo kagem Gusti Allah”. Tutur Ibu lembut, tanpa terasa pipinya
telah basah dengan tangis kesabarannya.
Semenjak
masuk Sekolah Menengah Atas, putrinya memang sering keluar malam. Padahal
jadwal sekolah dan bimbelnya baru selesai usai petang menjelang. Bapak dan Ibunya
sudah bersusah payah membiayai segala kegiatan formal dan non formal putrinya,
petuah demi petuah juga tak luput dicurahkan semata agar buah hatinya bahagia
dunia dan akhirat kelak. Tetapi putrinya malah jauh dari apa yang diharapkan.
Di tengah keadaan Bapak yang
berangsur membaik, air mata Ibu wanita itu masih berlinang ketika mencoba
menasihati Bapak yang sedari tadi masih kesal. Ibu tahu, walaupun sedang kesal
Bapak tetap menyayangi putrinya. Ibu sepertinya lelah jua menghadapi putrinya
tersebut, namun Ibu tak putus asa berusaha dan berdoa agar putrinya kembali
kejalanNya. Tak putus-putusnya Ibu menasihati Bapak untuk selalu berdoa supaya
apa yang dilakukan anaknya tetap dalam lindungan Allah Swt. Dan mengingatkan Bapak
untuk tidak memberi julukan yang buruk bagi sang putri karena khawatir akan
menjadi doa yang buruk pula.
Jangan
mendoakan keburukan (mengutuk) dirimu, atau anak-anakmu, atau pelayan-pelayanmu
(karyawan-karyawanmu), atau harta-bendamu, (karena khawatir) saat itu cocok
dikabulkan segala permohonan dan terkabul pula doamu. (Ibnu Khuzaimah)
Dari
balik tirai wanita itu melihat Bapak dan Ibunya menangis dan menyebut namanya. Mungkin
lebih tepat jika menyebutnya “tidak punya hati”, karena wanita itu kian
menganggap dirinya yang paling benar sehingga tidak ada lagi yang melarangnya untuk keluar malam bersama
cintanya yang belum halal.
Wanita
itu adalah aku, Huwaidah. Panggil saja aku, Uwie. Aku sangat menikmati
hari-hariku sebagai remaja. Bebas ! Ya, masa remajaku kala itu identik dengan
kebebasan. Aku benci bila Ibu dan Bapak selalu melarangku untuk keluar malam.
Apalagi ketika malam minggu. Aku tidak ingin menjadi remaja cupu. Rasanya aku
bosan jika masa remajaku hanya diisi dengan rutinitas sekolah saja.
Setiap
malam ku lalui bersama teman sekelasku. Dia begitu tampan, keren dan menurutku ia
juga cowok idaman bagi teman-teman seusiaku di sekolah. Tak salah kan kalau aku
menjadi salah satu wanita yang mengharapkan cintanya. Dan memang akulah yang
terpilih untuk menjalin ikatan dengannya. Kami berpacaran tiga bulan yang lalu.
Haris benar-benar telah mengubah hidupku.
Cinta
sebelum halal yang pernah aku rasakan memang membuatku bahagia. Sampai-sampai
aku dibuatnya lupa atas kebesaranNya. Aku sadar jikalau cinta yang ku alami membawa
dampak buruk bagiku.
***
“
Aku menyesal, andai waktu dapat terulang lagi, kak !”
“
Sudahlah dik, la tahzan. Yang terpenting Uwie yang sekarang berbeda dari yang
lalu”. Suaranya sebening embun, siapapun yang mendengar pasti akan merasakan
kesejukannya. Dalam tangisanku, aku merasa sangat mengagumi sosok Kak Syifa
yang ku kenal sebagai wanita yang shalihah itu.
Kak
Syifa adalah mentorku. Pertemuan di kampus sore ini khusus untukku dan Kak
Syifa saja, karena kami akan membahas jadwal mentoring untuk pertemuan
selanjutnya. Tanpa disangka usai menyusun jadwal kami saling bercerita tentang
awal mula kami merasa dekat dengan Illahi Rabbi, Sang Pemilik Hati Manusia.
Namun baru setengah giliranku bercerita tentang kisah hidupku sudah membuat tangisanku
tumpah ruah di sudut musholla kampus.
“
Dik. . . . tenanglah, lalu bagaimana kisah selanjutnya? Apakah ada doa rutin
yang kau panjatkan agar senantiasa merasa dekat denganNya? . Lanjut Kak Syifa
seraya memberikan selembar tisu untuk mengusap air mataku yang hampir terjatuh.
“
Doa rutin yang kupanjatkan tak lain hanyalah tuk membalas budi baik Almarhum
bapak kak, sebab . . . .”
“ Sebab apa dik?” Kak Syifa lantas
memelukku seakan mentransfer kekuatan agar aku kembali bercerita.
“ Sebab penyesalan selalu datang
terlambat, kak.”
Aku
kembali melanjutkan kisahku dan kudapati Kak Syifa turut bersedih mendengarnya.
Selang
waktu berganti, aku belum juga berhenti. Bahkan masa pacaran kami tidak hanya
cukup di malam hari. Sering Haris membawaku bolos sekolah sekedar untuk
menemaninya bermain playstation, atau makan siang di jam-jam sekolah.
Ketika
malam datang kami kembali bepergian yang tak penting dan terkadang terasa amat
membuang-buang waktu. Nilai rapotpun menjadi merosot tajam. Parahnya, aku masih
menganggap itu hanyalah hal sepele. Ibu dan Bapak terlihat begitu kecewa
melihat sikapku.
Ku
akui, aku sungguh egois. Karena cinta, aku menjadi tak karuan bahkan berani
membangkang terhadap kedua orangtuaku. Kondisi Bapak yang sering sakit-sakitan
juga terlupakan.
Hingga
suatu hari, Haris memutuskan hubungan kami melalui SMS. Aku yang tak percaya
langsung menuju rumahnya dan meminta kejelasan tentang hubungan kami.
Setibanya di sana, ia malah
memperolokku. Dengan suaranya yang lantang, ia berkata bahwa ia bosan
berpacaran denganku. Tapi aku mati-matian meminta agar kami kembali berpacaran.
Tanpa disangka datang seorang wanita berambut panjang yang langsung memegang
tangan Haris. Dan lelaki itu langsung mencium keningnya lalu saling berpelukan.
Kejadian itu membuat mata hatiku terbuka. Ternyata lelaki itu hanya
menginginkan wanita yang murahan, yang mau menuruti apapun keinginannya.
Bodohnya
aku masih saja menangisinya, sepanjang perjalanan pulang aku masih mengingatnya
dan menyesali hubungan kami yang telah berakhir. Tetapi jauh di dalam lubuk
hatiku sudah ikhlas tuk membuang jauh-jauh rasa cinta itu.
Seperti silih berganti masalah hadir
menyerangku, sesampainya di rumah aku terkejut melihat sanak saudaraku yang
berkumpul di beranda rumah. Bayanganku tentang Haris melayang seketika. Kali
ini perasaanku bercampur aduk. Gelisah, dan bertanya-tanya. Ku amati satu
persatu saudaraku menangis, pakde dan budeku menangis, tetangga dekatku juga
ikut menangis. Apa mereka terharu melihat keputusanku untuk meninggalkan Haris?
Ah, tidak mungkin hanya karena masalah sepele seperti itu. Lalu akupun teringat
Ibu, aku bertanya-tanya dimana Ibu. Pakde dengan sigap mengantarku menuju
ruangan dimana Ibu berada. Akupun segera berlari menghampiri Ibu, ku dapati Ibu
sedang menangis sambil berbaring di tempat tidur. Disampingnya ada sepupuku
yang menemani. Matanya tampak berembun, nampaknya ia ingin berbicara namun
nafasnya sesak sehingga sulit untuk berkata-kata.
Ketika
ku tanyakan tentang Bapak, Ibu berteriak histeris kala mendengarnya. Ibu hanya
sanggup menunjuk-nunjuk ke arah sudut ruangan dan terus menangis. Aku mengikuti
petunjuk dari Ibu. Perasaanku bertambah kacau, tiba-tiba rasa bersalah itu
muncul menjadi satu saat aku mengingat wajah Bapak. Apa benar bapak meninggal
dunia? Ya Allah, belum sempat aku meminta maaf kepada beliau, kemudian terasa
ada sesuatu yang menetes di pipiku. Tepat di depan pintu kamar belakang aku
menangis tersedu.
Innalillahi
wa innailaihi rojiun . . .
Aku
lantas memeluk jasad Bapak, rasa penyesalan yang begitu besar serempak
menghantuiku kala itu. Aku merasa sangat berdosa mengingat sikapku yang sering
membangkang terhadap nasehat Bapak selama ini.
“
Aku sungguh malu dengan diriku, kak ! aku bukanlah anak yang berbakti...” Lalu
aku mengusap air mataku yang susul menyusul.
“
Ikhlaskanlah adikku, kematian itu sudah takdir Allah. Bersyukurlah karena cinta
Allah
menyapamu hingga kau tak terlalu jauh terjebak
dalam maksiat itu”.
Aku terdiam.
Ya
Allah, semoga Engkau membukakan pintu maaf untuk hamba-Mu ini.
Kini cukuplah Engkau sebagai
penolong, menjaga tiap-tiap cahaya harapan agar tak sirna dari pandanganku.
Meskipun pertolonganNya datang dengan cara yang tidak ku senangi. Aku bersyukur
karena Allah masih memberi kesempatan bagi ku tuk kembali kepadaNya.
Naskah ini diikutsertakan dalam lomba Kisah Cinta Islami dalam Event "Indhis Writing Contest" . Yang diselenggarakan oleh Pena Indhis "Penulis Antologi Indahnya Islam" pada 13 februari s/d 13 Maret 2013. Dengan total keseluruhan 610 naskah peserta lomba, namun hanya lolos hingga tahap 2 dari 4 tahap yang ada. Semangat Hasana Annas ! Jangan putu asa !
15 comments:
Main Ke Bloofers...eh nemuin tulisan yang imajinatif ni...
nice blog..keep writing Anna
Mampir ke blogku yaaa....ditunggu :D
Terimakasih sudah berkunjung,
salam bloofrs :)
terima kasih juga sudah mampir
salam bloofrs Juga :D
nana itu rajin banget dah :D
ehehehe ada teteh desii...ini naskah yang waktu itu diikutin lomba des, dan gak menang. Mubazir kalo gak di share heheh :D
Wah, 2 jempol buat cerpennya yg udah lolos hingga tahap 2.
yup semangaaat.. :D
Saya jadi berkaca-kaca membacanya.. Keep writting, dan terus menginspirasi :)
Makasih kak, tapi gak lolos ke tahap 3 :"( huhuhu
Terimakasih sudah berkunjung :)
assalamu'alaykum :)
sudah kenalan di bloofers.. tapi baru berkunjung ke rumahnya nih..
subhanalloh.. keren ceritanya.. selalu berhikmah
Waalaikumsalam...
hehehe , makasih mba sudh berkunjung :)
Tulisan yang menginspirasi, salam kenal :d
Terimakasih, salam kenal juga :D
hanya kepadaNya tempat kita mengadu. baik dalam keadaan sedih maupu bahagia...
tulisan ny keren,, sukses selalu
Post a Comment