oleh Muhammad Cholidi Asadil Alam pada 21 September 2010 jam 0:10
Nasihat buat diri sendiri dan sahabat yg ingin menyimak dan mengambil hikmah dari kisah ini. Sahabatku rahimakumullah,
Alkisah seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung. “Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu? ” sang Guru bertanya.
“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya, ” jawab sang murid muda.
Sang Guru tertawa terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”
Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.
“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.”
Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.
“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru. “Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.
Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan. “Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke telaga di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke telaga.”
Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke telaga, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan guru, begitu pikirnya.
“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir telaga. Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air telaga, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air telaga yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?”
“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya.
Tentu saja, telaga ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air telaga ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.
“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?” tanya sang guru “Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air telaga sampai puas.
“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah ditakdirkan oleh Allah swt, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”
Si murid terdiam, mendengarkan petuah Sang Guru Sufi yang terkenal bijaksana itu. “Tapi Nak, rasa `asin’ dari penderitaan yang dialami itu akan sangat tergantung dari besarnya hati yang menampungnya. Jadi Nak, supaya engkau tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan hati dalam dadamu menjadi seluas telaga agar engkau bisa menikmati hidup”
Sahabatku rahimakumullah, Memang dalam perjalanan hidup, kita terkadang kita mengalami kondisi sulit : hari-hari terasa muram, masa depan gelap tak jelas, makin menggelisahkan. Ke sana-sini mencari kerja tak ada kepastian, seluruh jalan terasa buntu, setiap kali memulai usaha selalu merugi –terkadang ditipu kawan–, musibah datang silih berganti, tangisan anak merengek biaya sekolah, sementara penghasilan tak mencukupi, dan setimbun problema hidup lainnya.
Bila kebingungan mencekam, jalan keluar akan semakin buntu. semakin tercekam dalam kebingungan, psikologi menjadi kocar-kacir, segala program yang telah ditata berantakan, masa depan kian gelap , dan persoalan kian menimbun.
Tidak terhitung jumlah orang –utamanya orang yang tak memiliki iman—telah mengambil jalan pintas bunuh diri dikarenakan kebingungan mencari jalan keluar dari kesulitan hidup. Tidak sedikit, ribuan orang menjadi gila dan stress karena tak tahu bagaimana hendak menyikapi berbagai masalah yang dihadapi.
Sahabatku, apabila perasaan sedih membebani, menjadikan perasaan kalut tak terhindari, misalnya, karena kerugian selama ini yang harus ditanggung, apalagi jika diingat bagaimana ” capeknya” berusaha, siang malam bekerja keras hanya musibah yang datang memporak-porandakan semuanya ; perasaan sedih karena merasa sendirian, teman-teman yang pernah dibantu ternyata melupakan dirinya. Tak jarang, rasa menyesal dan kecewa muncul ketika itu.
Ketika rasa penyesalan demikian ini muncul, seluruh keikhlasan yang telah dilakukan hangus. Kesedihan akan semakin menumpuk dan membebani jiwa. Akan sia-sia, menyesali masa lalu, dan pada waktu yang sama, telah menggerogoti simpanan pahala. Semakin sedikit simpanan amal baik, maka semakin terasa sempit jiwa dan kehidupan kita.
Mengambil jalan Pintas? Melakukan tindakan yang merugikan orang lain demi kepentingan sesaat dan keuntungan duniawi, seperti: menipu, mencuri, merampok, dlsb, sungguh tindakan jahat semacam itu bukan jalan keluar. Justru, makin mempersulit jalan hidup. Dengan tindakan jahat, kepercayaan orang lain akan hilang.
Bukankah modal utama dalam kesuksesan hidup tidak hanya terletak pada banyaknya uang, pun bukan pada kehebatan memasarkan diri, melainkan terletak pada sejauh mana orang lain mempercayai kita. Barang-barang haram yang kita peroleh tidak akan pernah membuat hidup menjadi tenang, tapi membuat semakin gelisah merasa dikejar-kejar sesuatu yang mengancam. Barang haram niscaya akan membangun kerakusan baru : merasa haus untuk memburu lagi barang-barang haram yang baru. Kekayaan haram tidak mendatangkan berkah sama sekali : tak terasa kekayaan tiba-tiba habis begitu saja, sia-sia.
Bagaimana jalan keluarnya ? Pertama : melanjutkan usaha dan upaya kita dengan tetap jujur, dan menghindari segala perbuatan yang dibenci Allah swt.
Kedua : percaya bahwa segala yang menimpa hamba adalah karena takdir Allah. Meyakini, bahwa segala yang Allah takdirkan adalah yang terbaik buat kita. Dengan demikian, akan datang perasaan tenang karena dirasa yang diyakini : Allah maha Kaya, Maha Kuasa, dan Allah yang menentukan segala nasib hambaNya.
Selain kedekatan yang melahirkan rasa tenang, hidup akan semakin bersih ; kepercayaan orang lain akan semakin kuat. Selanjutnya, jalan hidup akan semakin terbuka lebar.
Ketiga : setiap kali seorang hamba memasuki kesulitan, berarti, kemudahan semakin dekat dan jalan keluar segera ditemukan. Janji Allah (Q.S. Alam Nasyrah : 5-6) :
“Fainna ma’al usyri yusra, inna ma’al usyri yusra”. (Maka bersama setiap kesulitan akan disertai kemudahan).
Seperti apa yang disampaikan oleh Guru Sufi tadi, dalam menyikapi ketetapan Allah, akan tergantung kepada diri kita masing-masing.
Sahabatku, penderitaan yang kita alami itu akan sangat tergantung dari besarnya hati kita. Dan seperti Guru sufi bilang dalam Notes di atas, bahwa segala masalah dalam hidup itu ibarati segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kita alami sepanjang kehidupann kita itu sudah ditakdirkan oleh Allah swt, sesuai untuk diri kita masing-masing. Jumlahnya-pun tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah.
Nah supaya kita tidak merasa menderita, marilah kita berhent menjadi gelas. Jadikan hati dalam dada kita menjadi seluas telaga agar kita bisa menikmati hidup dan yakinlah akan firman-NYA, bahwa ” “Fainna ma’al usyri yusra, inna ma’al usyri yusra”. (Maka bersama setiap kesulitan akan disertai kemudahan).
Wallahulam bissawab
Alkisah seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung. “Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu? ” sang Guru bertanya.
“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya, ” jawab sang murid muda.
Sang Guru tertawa terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”
Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.
“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.”
Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.
“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru. “Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.
Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan. “Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke telaga di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke telaga.”
Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke telaga, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan guru, begitu pikirnya.
“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir telaga. Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air telaga, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air telaga yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?”
“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya.
Tentu saja, telaga ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air telaga ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.
“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?” tanya sang guru “Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air telaga sampai puas.
“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah ditakdirkan oleh Allah swt, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”
Si murid terdiam, mendengarkan petuah Sang Guru Sufi yang terkenal bijaksana itu. “Tapi Nak, rasa `asin’ dari penderitaan yang dialami itu akan sangat tergantung dari besarnya hati yang menampungnya. Jadi Nak, supaya engkau tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan hati dalam dadamu menjadi seluas telaga agar engkau bisa menikmati hidup”
Sahabatku rahimakumullah, Memang dalam perjalanan hidup, kita terkadang kita mengalami kondisi sulit : hari-hari terasa muram, masa depan gelap tak jelas, makin menggelisahkan. Ke sana-sini mencari kerja tak ada kepastian, seluruh jalan terasa buntu, setiap kali memulai usaha selalu merugi –terkadang ditipu kawan–, musibah datang silih berganti, tangisan anak merengek biaya sekolah, sementara penghasilan tak mencukupi, dan setimbun problema hidup lainnya.
Bila kebingungan mencekam, jalan keluar akan semakin buntu. semakin tercekam dalam kebingungan, psikologi menjadi kocar-kacir, segala program yang telah ditata berantakan, masa depan kian gelap , dan persoalan kian menimbun.
Tidak terhitung jumlah orang –utamanya orang yang tak memiliki iman—telah mengambil jalan pintas bunuh diri dikarenakan kebingungan mencari jalan keluar dari kesulitan hidup. Tidak sedikit, ribuan orang menjadi gila dan stress karena tak tahu bagaimana hendak menyikapi berbagai masalah yang dihadapi.
Sahabatku, apabila perasaan sedih membebani, menjadikan perasaan kalut tak terhindari, misalnya, karena kerugian selama ini yang harus ditanggung, apalagi jika diingat bagaimana ” capeknya” berusaha, siang malam bekerja keras hanya musibah yang datang memporak-porandakan semuanya ; perasaan sedih karena merasa sendirian, teman-teman yang pernah dibantu ternyata melupakan dirinya. Tak jarang, rasa menyesal dan kecewa muncul ketika itu.
Ketika rasa penyesalan demikian ini muncul, seluruh keikhlasan yang telah dilakukan hangus. Kesedihan akan semakin menumpuk dan membebani jiwa. Akan sia-sia, menyesali masa lalu, dan pada waktu yang sama, telah menggerogoti simpanan pahala. Semakin sedikit simpanan amal baik, maka semakin terasa sempit jiwa dan kehidupan kita.
Mengambil jalan Pintas? Melakukan tindakan yang merugikan orang lain demi kepentingan sesaat dan keuntungan duniawi, seperti: menipu, mencuri, merampok, dlsb, sungguh tindakan jahat semacam itu bukan jalan keluar. Justru, makin mempersulit jalan hidup. Dengan tindakan jahat, kepercayaan orang lain akan hilang.
Bukankah modal utama dalam kesuksesan hidup tidak hanya terletak pada banyaknya uang, pun bukan pada kehebatan memasarkan diri, melainkan terletak pada sejauh mana orang lain mempercayai kita. Barang-barang haram yang kita peroleh tidak akan pernah membuat hidup menjadi tenang, tapi membuat semakin gelisah merasa dikejar-kejar sesuatu yang mengancam. Barang haram niscaya akan membangun kerakusan baru : merasa haus untuk memburu lagi barang-barang haram yang baru. Kekayaan haram tidak mendatangkan berkah sama sekali : tak terasa kekayaan tiba-tiba habis begitu saja, sia-sia.
Bagaimana jalan keluarnya ? Pertama : melanjutkan usaha dan upaya kita dengan tetap jujur, dan menghindari segala perbuatan yang dibenci Allah swt.
Kedua : percaya bahwa segala yang menimpa hamba adalah karena takdir Allah. Meyakini, bahwa segala yang Allah takdirkan adalah yang terbaik buat kita. Dengan demikian, akan datang perasaan tenang karena dirasa yang diyakini : Allah maha Kaya, Maha Kuasa, dan Allah yang menentukan segala nasib hambaNya.
Selain kedekatan yang melahirkan rasa tenang, hidup akan semakin bersih ; kepercayaan orang lain akan semakin kuat. Selanjutnya, jalan hidup akan semakin terbuka lebar.
Ketiga : setiap kali seorang hamba memasuki kesulitan, berarti, kemudahan semakin dekat dan jalan keluar segera ditemukan. Janji Allah (Q.S. Alam Nasyrah : 5-6) :
“Fainna ma’al usyri yusra, inna ma’al usyri yusra”. (Maka bersama setiap kesulitan akan disertai kemudahan).
Seperti apa yang disampaikan oleh Guru Sufi tadi, dalam menyikapi ketetapan Allah, akan tergantung kepada diri kita masing-masing.
Sahabatku, penderitaan yang kita alami itu akan sangat tergantung dari besarnya hati kita. Dan seperti Guru sufi bilang dalam Notes di atas, bahwa segala masalah dalam hidup itu ibarati segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kita alami sepanjang kehidupann kita itu sudah ditakdirkan oleh Allah swt, sesuai untuk diri kita masing-masing. Jumlahnya-pun tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah.
Nah supaya kita tidak merasa menderita, marilah kita berhent menjadi gelas. Jadikan hati dalam dada kita menjadi seluas telaga agar kita bisa menikmati hidup dan yakinlah akan firman-NYA, bahwa ” “Fainna ma’al usyri yusra, inna ma’al usyri yusra”. (Maka bersama setiap kesulitan akan disertai kemudahan).
Wallahulam bissawab
No comments:
Post a Comment