Goresan luka telah
bersarang dalam lubuk wanita itu. Tertutup rapat hingga tiada seorangpun
menemukan bercaknya. Luka yang dahulu sudah
mengering oleh iringan waktu. Sering berganti sayatan bak mata pisau menerjang. Luka-luka
seolah datang silih berganti, timbul tenggelam sesuai episode hidupnya. Ya, dia
hidup dalam redup cahaya bila jiwa kembali menuai tetesan luka. Meski terang
sering menjadi cahaya baginya tapi apa daya jika perih mulai menjalar. Peluk erat
sang redup menjadi satu-satunya penenang
kala tak berdaya menahan luka yang teramat sakit. Tapi kini berbeda, Ia yang biasanya tegar saat ini merasa begitu lemah dan terpuruk.
Satu jam, dua
jam, tiga... Ah, tak terhitung berapa lamanya. Dia masih ada pada posisinya yang
semula meringkuk memeluk lututnya seraya membenamkan wajah manisnya.
Kemudian
terdengar suara detakan jam yang semakin
keras. Lebih keras. Dan hanya suara itu yang terdengar dikamar mungilnya.
“Tidakkah dia
bosan hanya berdiam diri?”
“ Ah, kurasa
tidak. Luka itu mungkin sudah menusuknya terlalu dalam.”
Wanita itu
seakan merasakan hawa yang berubah menjadi “dingin” dari dinding-dinding kamarnya.
Tangis yang sebelumnya mengalir dipipinya membuat seisinya tahu bahwa Ia
sungguh-sungguh redup. Suasana kala itu menambah kesedihan baginya.
Wanita itu
sedang dirindukan, andai dia tahu . . . .
“Sudah tiga hari seperti ini, tak melakukan
apapun. Mungkin sedang mencari jalan keluar, tapi . . . .”
“Apakah harus
dengan cara seperti ini, tidak makan selama tiga hari, mengurung diri dikamar,
tidak mandi bahkan tidak solat? Aku merasa tidak bermakna . . . ."
Ting . . Ting . . Ting . . .
Alarm yang dulu sengaja Ia pasang kembali berbunyi, kali ini suaranya kurus sekali, layaknya seseorang yang sedang menjeritkan kesedihannya. Pertanda ada ikatan batin yang terjalin dengan pemiliknya. Tepat jam 4 sore. Alarm itu memang disetel untuk mengingatkan agar Ia selalu membaca Alqur’an seperti yang kemarin-kemarin rutin Ia lakukan.
Ting . . Ting . . Ting . . .
Alarm yang dulu sengaja Ia pasang kembali berbunyi, kali ini suaranya kurus sekali, layaknya seseorang yang sedang menjeritkan kesedihannya. Pertanda ada ikatan batin yang terjalin dengan pemiliknya. Tepat jam 4 sore. Alarm itu memang disetel untuk mengingatkan agar Ia selalu membaca Alqur’an seperti yang kemarin-kemarin rutin Ia lakukan.
“Ia tak bangkit.
Aku tak suka hawa dingin ini. Akankah aku bisa kembali hangat? Sedang dia
seperti kehilangan arah.”
Ia dirindukan .
. . . sadarkah?
Suara isak
tangis lagi-lagi terdengar. Kali ini lebih meruncing dan lebih dalam. Walau tiada satupun tahu masalah apa yang sedang dialaminya, namun ada yang mengerti
tentang tangis penyesalan itu. Wanita itu lantas mencakar-cakar dirinya sambil
sesekali berucap “Alangkah bodohnya aku”.
Ia pun
mengambil pisau yang tergeletak disampingnya. Bangkit. lalu Berjalan dengan tergopoh-gopoh
nan lemas.
Ia kemudian meletakkan
pisau itu di atas meja kamarnya.
Entah apa yang membuatnya bangkit. Ataukah hanya perasaan sang wanita yang mampu memahaminya?
Astagfirullahaladzim
. . .
bisik sang wanita
bisik sang wanita
Wanita itu
bergegas keluar kamar dengan tidak menutup rapat pintunya. Sesaat kemudian gemericik air terdengar menyejukkan. Menit-menit berselang, akhirnya wanita itu masuk ke dalam kamarnya. Digelarlah
sajadah panjang miliknya. Alangkah hati-hati serta penuh ke khusyu’an dia
melaksanakan kewajibannya kepada Sang Khaliq. Sujudnya lebih lama dari
biasanya. Kembali tetesan-tetesan
air mata membasahi wajahnya. Dibalik untaian doanya ada yang nampak senang lantaran air mata itu ditunjukkan
kepada Rabbnya. Kini hangat yang dirindukan pun dapat dirasakan dan setiap detik
yang dihasilkan kembali bermakna ^^
8 comments:
apa yang membuatnya bangkit?
penting untuk diceritakan lho... agar pembaca dapat turut meraih hikmahnya. :)
wah makasih mbak liyan fury :)
oke akan saya perbaiki :)
Gaya tulisannya sudah bagus. Hanya saja persoalan yang diangkat dalam cerita belum tampak. Semoga berkenan.
Redupnya cahaya membuat ia hati hati dalam menggelar sajadah, sungguh terharu :)
makaasih mas faizun, maklum baru belajar hehehe :)
Hahaha ini nih yang bikin ngakak :D
makasih mas irfan sudah berkenan mampir :)
Cerita inspiratif, bagus, kondisi jiwa yang labil namun akhirnya berhasil kembali kepada kondisi yang lebih baik.
Terimakasih ^^
yupss itulah isi ceritanya ...
Post a Comment