Carrot

Wednesday 17 April 2013

Dalam Duka, Kutemukan CintaNya



Gemuruh petir yang menyambar sore itu disertai angin kencang. Rintik hujan pun berjatuhan. Kini cuaca gelap dan menakutkan. Namun suara petir dan hujan tak mampu menutupi huru hara kala itu. Suaranya terdengar dari kejauhan seolah mengadu pada sang alam.

“ Sudah Bapak bilang, jangan keluyuran  hingga malam hari ! ini sudah kesekian kalinya kamu tak menggubris kata-kata Bapak !” Mata merah saga tersebut masih memandang tajam sesuatu di hadapannya.

“ Apaan sih Pak ! kan cuma pulang malam saja kenapa dijadikan masalah”. Suara wanita tersebut tidak kalah tanding, lebih runcing dan lembut.

“Beraninya kamu membantah !” Raut wajah lelaki tua itu berubah geram. Telapak tangannya kini telah siap mendarat di pipinya, hampir saja.   Entah malaikat apa yang menyelusup membuat tangannya tak tega menampar paras sang putri.

Ibu yang semula tertidur lelap sontak terbangun karena mendengar suara bising yang ditimbulkan dari ruang tamu. Seakan sudah tau apa yang terjadi dan tanpa berucap sepatah katapun Ibu menepuk pundak lelaki tua itu yang tak lain adalah suaminya, lalu menenangkan seraya membawanya pergi dari ruang tamu.

Namun kondisi suaminya berubah, wajahnya mendadak pucat dan tangannya masih mengusap-usap dadanya yang nampak sakit. Ibu bergegas mengambilkan segelas air hangat untuk Bapak yang keadaannya sedang memburuk. Ibu khawatir penyakit asma Bapak kembali kambuh.

“Sing sabar Pak’e . . . . pasrahne sedoyo kagem Gusti Allah”. Tutur Ibu lembut, tanpa terasa pipinya telah basah dengan tangis kesabarannya.

Semenjak masuk Sekolah Menengah Atas, putrinya memang sering keluar malam. Padahal jadwal sekolah dan bimbelnya baru selesai usai petang menjelang. Bapak dan Ibunya sudah bersusah payah membiayai segala kegiatan formal dan non formal putrinya, petuah demi petuah juga tak luput dicurahkan semata agar buah hatinya bahagia dunia dan akhirat kelak. Tetapi putrinya malah jauh dari apa yang diharapkan.

            Di tengah keadaan Bapak yang berangsur membaik, air mata Ibu wanita itu masih berlinang ketika mencoba menasihati Bapak yang sedari tadi masih kesal. Ibu tahu, walaupun sedang kesal Bapak tetap menyayangi putrinya. Ibu sepertinya lelah jua menghadapi putrinya tersebut, namun Ibu tak putus asa berusaha dan berdoa agar putrinya kembali kejalanNya. Tak putus-putusnya Ibu menasihati Bapak untuk selalu berdoa supaya apa yang dilakukan anaknya tetap dalam lindungan Allah Swt. Dan mengingatkan Bapak untuk tidak memberi julukan yang buruk bagi sang putri karena khawatir akan menjadi doa yang buruk pula.

Jangan mendoakan keburukan (mengutuk) dirimu, atau anak-anakmu, atau pelayan-pelayanmu (karyawan-karyawanmu), atau harta-bendamu, (karena khawatir) saat itu cocok dikabulkan segala permohonan dan terkabul pula doamu. (Ibnu Khuzaimah)

Dari balik tirai wanita itu melihat Bapak dan Ibunya menangis dan menyebut namanya. Mungkin lebih tepat jika menyebutnya “tidak punya hati”, karena wanita itu kian menganggap dirinya yang paling benar sehingga tidak ada lagi yang  melarangnya untuk keluar malam bersama cintanya yang belum halal.

Wanita itu adalah aku, Huwaidah. Panggil saja aku, Uwie. Aku sangat menikmati hari-hariku sebagai remaja. Bebas ! Ya, masa remajaku kala itu identik dengan kebebasan. Aku benci bila Ibu dan Bapak selalu melarangku untuk keluar malam. Apalagi ketika malam minggu. Aku tidak ingin menjadi remaja cupu. Rasanya aku bosan jika masa remajaku hanya diisi dengan rutinitas sekolah saja. 

Setiap malam ku lalui bersama teman sekelasku. Dia begitu tampan, keren dan menurutku ia juga cowok idaman bagi teman-teman seusiaku di sekolah. Tak salah kan kalau aku menjadi salah satu wanita yang mengharapkan cintanya. Dan memang akulah yang terpilih untuk menjalin ikatan dengannya. Kami berpacaran tiga bulan yang lalu. Haris benar-benar telah mengubah hidupku.

Cinta sebelum halal yang pernah aku rasakan memang membuatku bahagia. Sampai-sampai aku dibuatnya lupa atas kebesaranNya. Aku sadar jikalau cinta yang ku alami membawa dampak buruk bagiku. 
 
***

“ Aku menyesal, andai waktu dapat terulang lagi, kak !” 

“ Sudahlah dik, la tahzan. Yang terpenting Uwie yang sekarang berbeda dari yang lalu”. Suaranya sebening embun, siapapun yang mendengar pasti akan merasakan kesejukannya. Dalam tangisanku, aku merasa sangat mengagumi sosok Kak Syifa yang ku kenal sebagai wanita yang shalihah itu.

Kak Syifa adalah mentorku. Pertemuan di kampus sore ini khusus untukku dan Kak Syifa saja, karena kami akan membahas jadwal mentoring untuk pertemuan selanjutnya. Tanpa disangka usai menyusun jadwal kami saling bercerita tentang awal mula kami merasa dekat dengan Illahi Rabbi, Sang Pemilik Hati Manusia. Namun baru setengah giliranku bercerita tentang kisah hidupku sudah membuat tangisanku tumpah ruah di sudut musholla kampus.

“ Dik. . . . tenanglah, lalu bagaimana kisah selanjutnya? Apakah ada doa rutin yang kau panjatkan agar senantiasa merasa dekat denganNya? . Lanjut Kak Syifa seraya memberikan selembar tisu untuk mengusap air mataku yang hampir terjatuh.

“ Doa rutin yang kupanjatkan tak lain hanyalah tuk membalas budi baik Almarhum bapak kak, sebab . . . .”

            “ Sebab apa dik?” Kak Syifa lantas memelukku seakan mentransfer kekuatan agar aku kembali bercerita.

            “ Sebab penyesalan selalu datang terlambat, kak.”

Aku kembali melanjutkan kisahku dan kudapati Kak Syifa turut bersedih mendengarnya.

Selang waktu berganti, aku belum juga berhenti. Bahkan masa pacaran kami tidak hanya cukup di malam hari. Sering Haris membawaku bolos sekolah sekedar untuk menemaninya bermain playstation, atau makan siang di jam-jam sekolah.

Ketika malam datang kami kembali bepergian yang tak penting dan terkadang terasa amat membuang-buang waktu. Nilai rapotpun menjadi merosot tajam. Parahnya, aku masih menganggap itu hanyalah hal sepele. Ibu dan Bapak terlihat begitu kecewa melihat sikapku.

Ku akui, aku sungguh egois. Karena cinta, aku menjadi tak karuan bahkan berani membangkang terhadap kedua orangtuaku. Kondisi Bapak yang sering sakit-sakitan juga terlupakan.

Hingga suatu hari, Haris memutuskan hubungan kami melalui SMS. Aku yang tak percaya langsung menuju rumahnya dan meminta kejelasan tentang hubungan kami.

            Setibanya di sana, ia malah memperolokku. Dengan suaranya yang lantang, ia berkata bahwa ia bosan berpacaran denganku. Tapi aku mati-matian meminta agar kami kembali berpacaran. Tanpa disangka datang seorang wanita berambut panjang yang langsung memegang tangan Haris. Dan lelaki itu langsung mencium keningnya lalu saling berpelukan. Kejadian itu membuat mata hatiku terbuka. Ternyata lelaki itu hanya menginginkan wanita yang murahan, yang mau menuruti apapun keinginannya.

Bodohnya aku masih saja menangisinya, sepanjang perjalanan pulang aku masih mengingatnya dan menyesali hubungan kami yang telah berakhir. Tetapi jauh di dalam lubuk hatiku sudah ikhlas tuk membuang jauh-jauh rasa cinta itu.

             Seperti silih berganti masalah hadir menyerangku, sesampainya di rumah aku terkejut melihat sanak saudaraku yang berkumpul di beranda rumah. Bayanganku tentang Haris melayang seketika. Kali ini perasaanku bercampur aduk. Gelisah, dan bertanya-tanya. Ku amati satu persatu saudaraku menangis, pakde dan budeku menangis, tetangga dekatku juga ikut menangis. Apa mereka terharu melihat keputusanku untuk meninggalkan Haris? Ah, tidak mungkin hanya karena masalah sepele seperti itu. Lalu akupun teringat Ibu, aku bertanya-tanya dimana Ibu. Pakde dengan sigap mengantarku menuju ruangan dimana Ibu berada. Akupun segera berlari menghampiri Ibu, ku dapati Ibu sedang menangis sambil berbaring di tempat tidur. Disampingnya ada sepupuku yang menemani. Matanya tampak berembun, nampaknya ia ingin berbicara namun nafasnya sesak sehingga sulit untuk berkata-kata.

Ketika ku tanyakan tentang Bapak, Ibu berteriak histeris kala mendengarnya. Ibu hanya sanggup menunjuk-nunjuk ke arah sudut ruangan dan terus menangis. Aku mengikuti petunjuk dari Ibu. Perasaanku bertambah kacau, tiba-tiba rasa bersalah itu muncul menjadi satu saat aku mengingat wajah Bapak. Apa benar bapak meninggal dunia? Ya Allah, belum sempat aku meminta maaf kepada beliau, kemudian terasa ada sesuatu yang menetes di pipiku. Tepat di depan pintu kamar belakang aku menangis tersedu.

Innalillahi wa innailaihi rojiun . . .      

Aku lantas memeluk jasad Bapak, rasa penyesalan yang begitu besar serempak menghantuiku kala itu. Aku merasa sangat berdosa mengingat sikapku yang sering membangkang terhadap nasehat Bapak selama ini.

“ Aku sungguh malu dengan diriku, kak ! aku bukanlah anak yang berbakti...” Lalu aku mengusap air mataku yang susul menyusul.

“ Ikhlaskanlah adikku, kematian itu sudah takdir Allah. Bersyukurlah karena cinta Allah

 menyapamu hingga kau tak terlalu jauh terjebak dalam maksiat itu”.

            Aku terdiam.

            Ya Allah, semoga Engkau membukakan pintu maaf untuk hamba-Mu ini.

            Kini cukuplah Engkau sebagai penolong, menjaga tiap-tiap cahaya harapan agar tak sirna dari pandanganku. Meskipun pertolonganNya datang dengan cara yang tidak ku senangi. Aku bersyukur karena Allah masih memberi kesempatan bagi ku tuk kembali kepadaNya. 


Naskah ini diikutsertakan dalam lomba Kisah Cinta Islami dalam Event "Indhis Writing Contest" . Yang diselenggarakan oleh Pena Indhis "Penulis Antologi Indahnya Islam" pada 13 februari s/d 13 Maret 2013. Dengan total keseluruhan 610 naskah peserta lomba, namun hanya lolos hingga tahap 2 dari 4 tahap yang ada. Semangat Hasana Annas ! Jangan putu asa !

15 comments:

pena kecil sativa said...

Main Ke Bloofers...eh nemuin tulisan yang imajinatif ni...
nice blog..keep writing Anna
Mampir ke blogku yaaa....ditunggu :D

Hasana Annas said...

Terimakasih sudah berkunjung,
salam bloofrs :)

pena kecil sativa said...

terima kasih juga sudah mampir
salam bloofrs Juga :D

Unknown said...

nana itu rajin banget dah :D

Hasana Annas said...

ehehehe ada teteh desii...ini naskah yang waktu itu diikutin lomba des, dan gak menang. Mubazir kalo gak di share heheh :D

Zeal*Liyanfury said...

Wah, 2 jempol buat cerpennya yg udah lolos hingga tahap 2.
yup semangaaat.. :D

Ave Ry said...

Saya jadi berkaca-kaca membacanya.. Keep writting, dan terus menginspirasi :)

Hasana Annas said...

Makasih kak, tapi gak lolos ke tahap 3 :"( huhuhu

Hasana Annas said...

Terimakasih sudah berkunjung :)

Gulunganpita said...

assalamu'alaykum :)
sudah kenalan di bloofers.. tapi baru berkunjung ke rumahnya nih..
subhanalloh.. keren ceritanya.. selalu berhikmah

Hasana Annas said...

Waalaikumsalam...
hehehe , makasih mba sudh berkunjung :)

shaleholic said...

Tulisan yang menginspirasi, salam kenal :d

Hasana Annas said...

Terimakasih, salam kenal juga :D

Mangkasara said...

hanya kepadaNya tempat kita mengadu. baik dalam keadaan sedih maupu bahagia...

Rizal Uye said...

tulisan ny keren,, sukses selalu